Hubungan Tahajud dan Terapi Kesehatan
Sebelum memaparkan beberapa kisah terapi penyembuhan dengan salat Tahajud, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa istilah yang berhubungan atau yang menghubungkan antara terapi kesehatan dengan salat Tahajud. Ini menjadi penting, agar tidak sampai kita salah persepsi tentang terapi kesehatan, juga, terutama, tentang salat Tahajud itu sendiri. Salah persepsi, maksudnya kita harus membedakan antara tujuan hakiki disyariatkan salat tahajud dengan berbagai manfaat salat Tahajud serta keutamaan-keutamaannya. Salah satu istilah belum lama ini telah dikaitkan dengan salat Tahajud dan terapi kesehatan adalah Psikoneuroimunologi (PNI).
Psikoneuroimunologi (PNI) adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor stres psikologis yang mempengaruhi respon imun, pengaruh stres psikologis terhadap perubahan respons imun serta manifestasi berbagai penyakit yang diperantarai oleh sistem imun.
Secara sederhana Psikoneuroimunologi (PNI) dapat diartikan sebagai bentuk kekebalan tubuh yang didapat dari kondisi psikologi dan keadaan jiwa seseorang. Atau bisa juga diartikan sebagai hubungan antara keadaan otak/saraf, pkisis dan kekebalan tubuh seseorang. Jadi, secara Psikoneuroimunologis kesehatan seseorang akan terganggu ketika ada gangguan pada aspek psikologis.
Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi kepada ilmu kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipothalamus ditanggapi sebagai stres perception dan kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Saat ini PNI telah berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit. Respon stres berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh yang dikenal sebagai homeostatis.
Terkait hal ini, WHO (World Health Organization) mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan sejahtera secara fisik, jiwa, sosial dan ekonomi. Sedangkan teori lama tentang timbulnya penyakit menyatakan bahwa suatu penyakit akan muncul jika terdapat gangguan pada salah satu atau lebih aspek dari segitiga berantai. Segitiga tersebut meliputi Host, Agent, dan EnvironmentI, yang bisa digambarkan sebagai segitiga yang terdiri dari: Host-Agent-Environment. Artinya seseorang akan sakit jika keadaan tubuh sedang ada gangguan, ada agen penyebab penyakit, atau/dan adanya lingkungan yang mendukung pada timbulnya penyakit. Teori lama ini kurang memperhatikan faktor psikologi sebagai penyebab timbulnya penyakit.
Teori lama itu sangat berbeda dengan teori baru dikemukakan Prof. Dr. H.M Saleh Drs.MPD, yang berhubungan dengan PNI, sebagaimana dalam seminarnya di UNISULA pada 20 Desember 2008. Beliau menyebutkan bahwa etiologi (penyebab) timbulnya penyakit ada lima, yaitu pola pikir, pola makan, pola laku, pola lingkungan, serta kehendak Allah Swt. Beliau juga menyebutkan bahwa pada dasarnya sumber dari berbagai penyakit adalah faktor ketidak-ikhlasan dan kesombongan yang bercokol di hati. Orang yang sombong, dengki, dan tidak ikhlas cenderung lebih rentan terhadap stres. Sementara itu jika kita stres tubuh kita akan mengeluarkan hormon Cortisol, yaitu suatu hormon yang dihasilkan oleh Cortex Adrenal (suatu kelenjar yang berada di ginjal bagian atas) dan hanya akan keluar jika kita stres. Cortisol akan menyebabkan protein dari berbagai jaringan smidal otot dan sebagainya - kecuali protein pada hati-, dilepaskan untuk kemudian diubah lagi menjadi glukosa. Cortisol yang meningkat menyebabkan penurunan sel-sel makrofag, basofil, ionofil dan lain-lain dalam tubuh, di mana sel-sel tersebut pada dasarnya berfungsi `memakan` sel-sel abnormal dalam tubuh. Jika sel-sel tadi jumlahnya semakin turun, maka diprediksi apa yang akan terjadi, yaitu peningkatan sel abnormal dalam tubuh yang manifestasi akhirnya adalah akan timbul suatu penyakit. Secara ringkas, Ganner dalam Biokimia Harper menyatakan bahwa kortisol menekan sistem imun (pertahanan tubuh) yang menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit.
Hubungan Kortisol dengan Tahajud
Kortisol dikeluarkan oleh kelenjarnya secara periodik atau berkala, sehingga membentuk suatu irama yang disebut sebagai `Irama sirkadian`. Kadar kortisol tertinggi dicapai setelah tengah malam (dini hari) hingga siang hari. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita menurunkan kadarnya (secara umum) sehingga kita sehat dengan kekebalan yang tinggi? Salah satu kuncinya adalah dengan salat Tahajud!
Pada saat salat Tahajud, maka kita terbawa pada suatu kondisi emosional yang stabil, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya tentang keutamaan salat Tahajud. Kita akan lebih rileks dan kondisi psikologi menjadi lebih tenang. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Saleh terhadap 51 responden menunjukkan bahwa pada pengamal salat tahajud, kadar hormon Kortisol relatif stabil dan relatif lebih rendah. Ketika diuji kadar sistem imunnya, diperoleh hasil yang cukup berarti pada uji statistik dalam kelompok tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salat Tahajud berpengaruh terhadap peningkatan respon ketahanan tubuh imunologik. Salat Tahajud yang dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan, khusyuk dan ikhlas, mampu menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan memperbaiki suatu mekanisme tubuh dalam mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Dengan salat yang lama, maka sel makrofag mencapai maksimal dan akan memakan sel abnormal lebih banyak.
Prof. Saleh juga menyebutkan bahwa dengan salat Tahajud selama 2 bulan (berturut-turut), akan menurunkan kadar kortisol, meningkatkan jumlah makrofag, basofil, ionofil, dan lain-lain, menurunkan jumlah sel abnormal dan akhirnya penyakit dapat sembuh. Demikian penelitian tersebut dapat merujuk pada hasil penelitiannya berupa disertasi.
Dari sini dapat kita pahami bahwa hasil penelitian sama sekali bukan tujuan dari disyariatkannya salat Tahajud, tapi lebih merupakan manfaat atau hikmah darinya. Dan tidak pula (ungkapan) ini berarti bahwa hal yang demikian tidak terkait dengan salat Tahajud. Akan tetapi alangkah baiknya jika kita katakan bahwa penemuan ini merupakan salah satu manfaat salat Tahajud yang baru terungkap, dari sekian banyak manfaat lainnya yang belum terungkap. Dikatakan demikian, karena Allah Swt. lebih mengetahui semua manfaat dalam salat Tahajud. Dia Maha Mengetahui, Maha Luas Ilmunya, dan Maha Agung Karunia-Nya. Sedangkan hanya sedikit yang kita ketahui mengenai syariat-Nya.
Logika Ilmiah Salat Tahajud
Dalam Islam, salat atau ibadah yang utama. Salat sunah yang paling utama setelah salat Wajib adalah salat Tahajud, Nabi Saw bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a. Ketika bertanya kepada Nabi Saw. tentang salat apa yang paling utama setelah salat maktubah (Salat Lima Waktu)? Nabi menjawab: “Salat di tengah malam (Tahajud).” (H.R. Muslim)
Salat Tahajud (juga salat-salat yang lain) mengandung beberapa aspek. Aspek hydrotherapy saat berwudu sebelum bertahajud, aspek gerakan dan relaksasi, aspek doa dan meditasi, aspek sugesti atau heterosugesti, dan aspek kebersamaan atau semacam group therapy, jika salat Tahajud dilakukan dengan berjamaah.
Kemudian, pada saat seseorang menggelar sajadah untuk menunaikan salat Tahajud, ia berada dalam kondisi layaknya orang yang melakukan meditasi dan relaksasi. Jika kita pernah mendengar lirik lagu Tombo Ati yang didendangkan budayawan kondang Emha Ainun Nadjib bersama kelompok musik Kiai Kanjeng, tahajud disebut sebagai salah satu Pengobat Hati. Sebab salat sunah yang ditunaikan di keheningan malam itu, mengantarkan orang yang menunaikannya menjadi lebih dekat dengan Allah. Hati yang dekat dengan Tuhannya adalah hati yang damai.
Orang yang rindu tahajud adalah orang yang mempunyai kadar keikhlasan lebih. Ia rela untuk menghentikan kelelapan tidurnya dan bersimpuh pada Sang Khalik. Al-Quran memuji mereka dengan menyebutnya sebagai orang-orang yang menjauhkan lambungnya dari tempat peraduan.
Tahajud diketahui sebagai ibadah yang ditunaikan pada malam hari, saat setiap orang mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan aktivitas di siang hari. Banyak kalangan menyatakan bahwa idealnya masa tidur di malam hari adalah enam hingga delapan jam. Tidur di malam hari akan memberikan energi baru bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya di pagi hingga siang hari.
Namun kemudian muncul sebuah pendapat lain dari seorang ilmuwan bernama Ray Meddis. Ia menyatakan bahwa masa tidur yang sempurna hanyalah tiga hingga empat jam setiap harinya. Seseorang akan mengalami deep sleep sekitar tiga hingga empat jam saja. Tentu seorang muslim mampu memanfaatkan sisa masa tidur itu untuk memadu cinta dengan Tuhannya, melalui salat Tahajud.
“Bangunlah untuk salat di malam hari kecuali sedikit daripadanya. Yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran dengan perlahan-lahan.”
Demikian yang Allah Swt. katakan dalam Al-Muzammil [73] : 2-4.
Seorang ilmuwan muslim asal Mesir, Fadhlalla Haeri, menyatakan bahwa ayat tersebut memberikan panduan bagi muslim untuk mencapai keseimbangan. Di sisa masa istirahatnya, tiga jam masa efektif tidur malam, maka ia pun semestinya bangun untuk menjalankan aktivitas yang bermanfaat. Bangun di waktu malam adalah salah satu aktivitas yang memberikan manfaat.
Lantas ia menambahkan, pada saat itu energi di dalam tubuh seseorang berada dalam kondisi rendah. Selain itu, medan refleksi juga begitu bersih. Dalam tradisi India, kondisi seperti itu disebut sebagai tahap pembentukan kesadaran yang terjadi pada titik energi ketujuh atau cakra mahkota. Dampaknya, akan meningkatkan intuisi seseorang dan kesadaran diri untuk mampu mengendalikan emosi negatif.
Menurut Haeri, pada saat seseorang menggelar sajadah untuk menunaikan salat Tahajud, ia berada dalam kondisi layaknya orang melakukan meditasi dan relaksasi atas kelenjar pineal. Ini akan menspiritualkan intelektual sesorang disertai dengan kemampuan personal untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah serta menjalin hubungan yang harmonis dengan sesamanya.
Tak hanya itu, pada saat matahari terbenam, kelenjar pineal mulai bekerja dan memproduksi hormon melatonin dalam jumlah besar dan mencapai puncaknya pada pukul 02.00 hingga 03.00 dini hari. Hormon inilah yang kemudian menghasilkan turunan asam amino trytophan dalam jumlah besar pula.
Pernahkah kita pertanyakan, apa saja manfaat tahajud lebih jauh? Tahajud menjadi sarana untuk mempertahankan melatonin dalam jumlah yang stabil.
Hormon melatonin akan membentuk sistem kekebalan dalam tubuh dan membatasi gerak pemicu tumor seperti estrogen. Haeri mengungkapkan bahwa pada masa kanak-kanak melatonin yang ada di dalam tubuh berjumlah 120 picogram. Namun jumlah tersebut akan semakin menurun pada usia 20-30 tahun. Selain secara alamiah, pengurangan jumlah melatonin di dalam tubuh juga diakibatkan adanya pengaruh eksternal, seperti: tidur larut, medan elektromagnetik, dan polutan kimia misalnya pestisida, yang pada akhirnya menyebabkan penyakit tekanan darah tinggi dan sakit kepala. Pada titik tertentu bahkan menyebabkan turunnya sistem kekebalan tubuh.
Kafein yang terkandung di dalam kopi, teh hitam, dan soda tertentu juga akan menyebabkan kemampuan antioksidan melatonin berkurang. Keadaan ini akan membahayakan sel-sel tubuh saat seseorang tengah terjaga. Dengan demikian, kata Haeri, yang harus menjadi perhatian adalah bukan kuantitas tidur seseorang untuk memberikan kebugaran pada tubuh, tetapi justru kualitas tidur. Tiga jam adalah waktu yang cukup untuk itu.
Tahajud tidak hanya memberikan pengaruh pada posisi melatonin. Gerakan ibadah di sepertiga malam terakhir ini juga memberikan pengaruh tertentu pada tubuh. Setidaknya, pada saat berdiri tegak dan mengangkat takbir secara tidak langsung akan membuat rongga toraks dalam paru-paru membesar. Ini akan menyebabkan banyak oksigen yang masuk ke dalamnya. Ada kesegaran yang dirasakan ketika seseorang dapat menghirup udara segar ke dalam paru-parunya di keheningan malam itu. Pada saat sujud, seluruh berat dan daya badan dipindahkan sepenuhnya pada otot tangan, kaki, dada, perut, leher, dan jari kaki. Proses ini dilakukan berulang-ulang sesuai jumlah rakaat salat Tahajud yang kita lakukan.
Setelah oksigen masuk ke dalam paru-paru, oksigen diedarkan ke seluruh tubuh dengan lancar karena adanya pergerakan otot selama rukuk dan sujud. Selain itu, dalam salat seseorang juga melakukan gerakan duduk di antara dua sujud dan tahiyat yang menyebabkan adanya gerakan tumit, pangkal paha, jari tangan, jari kaki, dan lainnya. Tentu peredaran oksigen akan menjadi lancar.
Kisah Nyata Terapi Salat Tahajud
Sebagaimana disebut pada bagian pendahuluan, salah satu rujukan penulis dalam menguraikan Terapi Salat Tahajud adalah dari kisah Moh. Soleh, yang didapatkan dari berbagai sumber. Diketahui bahwa penelitian beliau untuk tugas doktoralnya (disertasi) di Universitas Airlangga, dilatar belakangi pengalaman pribadinya tentang salat Tahajud. Ayah 4 anak ini melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Salat Tahajud Terhadap Peningkatan Perubahan Response Ketahanan Tubuh Imonologik. Oleh karena itu, penulis akan menuliskan kisahnya pada urutan pertama.
Prof. Dr. Moh. Saleh dan Penelitian
Terapi Tahajud
Moh. Saleh dilahirkan di Kediri, pada 9 Desember 1960. Sebagai bagian dari keluarga ‘besar’ dengan 8 saudara kandung membuat beliau terbiasa hidup sederhana. Kondisi keluarga yang terbatas, menyebabkan tidak semua saudaranya bisa merasakan dunia pendidikan, apalagi hingga ke jenjang perguruan tinggi. Hal ini lantas membuat beliau berpikir, Apakah hanya orang yang punya uang yang bisa sekolah?
Dengan memahami pokok pikiran bahwa Islam tidak membatasi keinginan siapa pun untuk menuntut ilmu, Moh. Saleh pun berjuang untuk membuktikan kemampuannya. Saat itu lulusan madrasah dari pesantren tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun Moh. Saleh tidak berhenti sampai di situ, dia mengikuti ujian persamaan di MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) hingga diterima kuliah di Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Tribakti, Kediri. Untuk membiayai masa studinya, selama kuliah Moh. Saleh mencari biaya secara mandiri dengan berniaga.
Setelah lulus sebagai sarjana muda, tidak lantas membuat Moh. Saleh merasa cukup dan puas. Berbekal keinginan memperoleh ijazah sarjana (S1), Moh. Saleh mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tiga tahun setelah lulus, Moh. Saleh mendapat kesempatan melanjutkan studinya di S2 Fakultas Psikologi Konseling IKIP Negeri, Malang. Setelah itu dia melanjutkan S3 di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
“Awalnya untuk program doktor, saya mau memilih psikologi juga, tapi malah ditawari masuk fakultas kedokteran oleh salah seorang profesor. Namun ada syaratnya memang, yaitu saya harus bisa menciptakan sebuah ide baru dalam bidang kedokteran. Awalnya saya pikir apa saya bisa, mengingat selama ini saya tidak pernah menekuni dunia kedokteran, tapi saya coba saja. Apalagi saya memang sudah terbiasa tahajud dan merasakan manfaatnya. Maka dari kebiasaan menerapkan ilmu tahajud, lalu saya coba teliti”, kisahnya.
Pengaruh Air Wudu terhadap Kesehatan
Masaru Emoto, seorang ilmuan Jepang, melaporkan hasil penelitiannya mengenai air, bahwa molekul dalam air akan berubah-ubah sesuai dengan apa yang kita bacakan ke air. Dengan demikian, air yang kita niati untuk wudu akan dapat berubah menjadi obat yang menyembuhkan penyakit.
Banyak manfaat yang didapat dari air dingin yang kita gunakan untuk mandi atau wudu sebelum bertahajud. Penggunaan air dingin untuk menyiram sekujur tubuh atau anggota wudu akan merangsang dan menguatkan kulit, mengencerkan darah sehingga diperoleh kekentalan yang tepat, mengeluarkan racun, menormalkan fungsi ginjal, dan meningkatkan kerja usus besar. Efek lain penggunaan air dingin untuk mandi atau wudu sebelum bertahajud adalah melebarkan pembuluh darah di kulit; memerahkan kulit, menurunkan tingkat metabolisme, menormalkan pernapasan, dan menurunkan tekanan darah.
Berawal dari Pengalaman
Keputusan Moh. Saleh untuk kemudian meneliti salat Tahajud bukanlah tanpa diawali dengan latar belakang. Semua ini diawali dari pengalaman pribadinya yang berujung dan merasakan benar manfaat dan khasiat salat Tahajud.
“Mulanya, sejak masuk pesantren saya mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh,” ungkap alumni Pesantren Lirboyo Kediri, ini. Sakit itu ternyata berupa sejenis kanker kulit yang membuat seluruh tubuhnya melepuh. Tak hanya sakit, orang lain pun menjadi jijik melihatnya.
Sakit yang berlangsung selama bertahun-tahun itu tidak kunjung sembuh meski Saleh sudah berupaya berobat ke sana ke mari. Hingga akhirnya, Moh. Saleh memasrahkan dirinya pada Allah. Beliau kembalikan semua masalah sakitnya ini pada pemilik penyakit dan pemilik kesembuhan, yaitu Allah Swt. dengan memohon kesembuhan secara sungguh-sungguh.
“Maka saya matikan lampu dan saya pun berduaan dengan Allah,” ungkap pendiri rumah sehat Avicenna di Kwangkalan Kota Kediri ini. Subhanallah, luar biasa! Setelah pasrah total kepada Allah Swt. dan rutin bertahajud, justru penyakit Moh. Saleh sembuh dengan sendirinya. Bisa dikatakan, itulah tahap awal Moh. Saleh menerapkan terapi tahajud pada dirinya sendiri.
Namun demikian manfaat itu baru dirasakan oleh dirinya sendiri. Padahal, beliau sendiri sudah merasakan ketertarikan mendalam pada salat yang menurutnya amat istimewa ini dan ingin berbagi pula pada banyak orang.
Mengapa bisa, tahajud menjadi istimewa? “Karena......
Pertama, tidak ada salat sunat lain yang langsung dianjurkan oleh Allah sebagaimana tertuang dalam surat Al-Isra ayat 79:
‘Dan pada sebagian malam, hendaklah kalian bertahajud (sebagai suatu) tambahan (ibadah) bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.’
Begitu pula anjuran salat malam terdapat dalam surat Al-Muzzammil ayat 1-10,” jelas suami Siti Fatimah ini.
Kedua, lanjut Saleh, Rasullulah Saw. sendiri telah mencontohkan betapa beliau itu tidak pernah meninggalkan salat Tahajud, baik di kala aman maupun di kala perang, seperti perang Badar.
Ketiga, karena begitu banyaknya hadis-hadis yang membahas soal keutamaan salat Tahajud, yaitu masa dua pertiga malam di mana Allah berjanji akan mengabulkan doa setiap hamba-Nya yang mau melaksanakannya.
Karena ini semua, dan melihat pula bahwa tahajud itu merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi serta para sahabat, Moh. Saleh meyakini bahwa salat sunah yang satu ini tentu amat istimewa. “Maka saya pun mulai mencari ada apa di balik tahajud itu dan ternyata memang terbukti kalau ternyata tahajud itu bisa dibuktikan secara medis (bisa) memberikan manfaat.”
Tahajud Menenangkan dan Menyehatkan
Atas dasar pemahaman ini, disertai pengalaman pribadinya, Moh. Saleh pun mantap meneliti metode penyembuhan penyakit melalui salat Tahajud dengan pendekatan Psikoneuroimunologi (PNI). Psikoneuroimunologi adalah ilmu yang mengkaji tentang modifikasi sistem imun karena sebab dan proses, yang berarti keadaan imunitas tubuh dalam keadaan stres, sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan.
“Jadi singkatnya ilmu ini mengkaji kesan pikiran, bahwa pesan pikiran itu berpengaruh pada kegiatan fisik dan begitu pula kegiatan fisik pun berpengaruh pada pikiran. Di sanalah kemudian masalah akidah dan ketakwaan seseorang akan berhubungan dengan faktor sakitnya.”
Dalam masa penelitiannya yang menghubungkan salat Tahajud dan terapi kesehatan ini, Moh. Saleh mengambil sampel 51 anak SMU Lukmanul Hakim di Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Sebelum melakukan salat Tahajud, para siswa ini diambil darahnya lalu mereka melakukan salat Tahajud selama sebulan, kemudian diambil lagi darahnya dan setelah dua bulan salat Tahajud diambil sekali lagi darahnya.
“Variabel yang diteliti itu ada 9, yaitu makrovat, boisisovir, momorsi, antibodi, imbulin a, n, g, b, e, dan hormon kortisol yang dihasilkan oleh anak ginjal. Kalau hormon kortisol penuh itu merupakan tanda-tanda kalau seseorang sedang mengalami stres. Penumpukan hormon ini dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, liver, jantung, hipertensi, dan sebagainya. Nah, ketika saya meneliti tahajud ternyata itu bisa mengurangi jumlah hormon kortisol yang meningkat menjadi luminitataif atau seimbang sehingga mengurangi tingkat stres seseorang. Jadi, sistem imunitasnya menjadi baik,” paparnya.
Kemudian lanjutnya, “Memang, orang yang stres diketahui rentan dengan penyakit, terutama kanker. Sebaliknya dengan tingkat stres yang rendah, berarti seseorang itu memiliki imun yang kuat sehingga tubuhnya mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salat Tahajud itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit,” papar aktivis di Ikatan Ahli Patobiologi Indonesia ini lagi.
Tetapi salat Tahajud yang dapat dirasakan manfaatnya tentu bukan sekadar ‘melakukan’ salat Tahajud. Namun salat Tahajud yang dilakukan dengan khusyuk, yang didasari oleh kesadaran mendalam terhadap makna, tujuan, dan konsekuensinya. “Jadi ini bukan sekedar ritual untuk menggugurkan kewajiban, sehingga pada pelaksanaannya tetap harus dikerjakan dengan rileks, namun rutin dan disertai dengan ketepatan gerakannya.”
Pemahaman dan penjelasan yang dikemukakan Moh. Saleh ini, tentu saja bukan bohong belaka. Beliau sendiri kini membiasakan dirinya salat Tahajud dan juga membudayakannya kepada keluarga. “Saya membiasakan salat Tahajud, dan sebelum mengajak orang lain, saya terapkan dulu pada keluarga. Alhamdulillah, istri dan anak-anak mau mengikuti meski yang anak-anak masih suka bolos. Tetapi paling tidak sudah ada keinginan untuk beribadah, ”jelas ayah dari M. Rumrowi Shaleh (18), Ilma Nafia (14), M. Iza Darijal Ilmi (7), dan Dul Yah Darojah (5), ini.
Mengabdi kepada Masyarakat: Klinik Rumah Sehat
Setelah pembuktian terapi tahajud dengan penelitian, Moh. Saleh aktif mengajar, serta mendirikan klinik yang diberinya nama Rumah Sehat Avicenna yang terletak di Desa Tempurejo, Kota Kediri. Meski sama menerapi penyakit menuju kesembuhan, dan juga ada pendampingan oleh dokter, tapi tak seperti rumah sakit pada umumnya. Rumah Sehat mendasari metode pengobatannya dengan terapi yang lebih mirip pesantren kilat.
Di klinik ini, jika ada pasien yang baru masuk, langkah pertama yang dilakukan Moh. Saleh adalah menanyakan pada si pasien secara detail tentang dirinya. Seperti umurnya berapa, pekerjaannya apa, lalu bila agamanya Islam maka akan ditanyakan juga apakah sudah rutin menjalankan salat lima waktu atau belum, bisa membaca Al-Quran atau tidak, suka mengerjakan salat sunah atau tidak, dan seterusnya. Setelah itu barulah pasien ditanya soal penyakitnya. Misalnya bagaimana proses terjadinya, kapan mulainya lalu ditanyakan juga apakah ada pikiran yang mengganggu selama itu? “Karena biasanya penyakit itu baru datang pada periode tertentu disebabkan karena pikiran atau perilaku mereka. Jadi saya tanyakan pikiran dan perilaku apa yang bisa membuat stres,” kata orang pertama di IAIN Sunan Ampel yang memperoleh gelar Profesor Psikologi Islam ini.
Hal ini dilakukan, lanjut Saleh, penyakit itu bukan hanya satu penyebabnya tapi bisa karena pola pikir, pola perilaku, pola makan, pola ibadah ataupun ketetapan Allah Swt. Bisa juga dari harapan yang terlalu tinggi tapi belum tercapai. “Nah, nanti kami yang membantu untuk memberikan jalan keluar. Kadang bisa sampai ke lingkup keluarga jika memang si pasien bermasalah dengan keluarganya, barulah dari sini diberikan terapi sesuai kebutuhan.”
Apabila pasien menjalani rawat inap, maka mereka diharuskan mengikuti rangkaian terapi. Dimulai saat bangun pagi lalu salat Subuh berjamaah. Kemudian olahraga, yakni berjalan dan berlari. Dilanjutkan dengan sarapan, lalu salat hajat dan salat Duha. Mengapa pasien disuruh salat Hajat dan Duha? “Ini dimaksudkan untuk membangun mindset bahwa yang menyembuhkan itu hakikatnya bukan dokter, tapi Allah Swt. dan kita hanya bisa berikhtiar meminta kesembuhan pada Allah,” jelasnya.
Kemudian pasien diminta mengikuti senam Tawakal, yaitu senam yang berisi gerakan-gerakan yang bisa dikatakan sebagai penyerahan diri kepada Allah. Setelah itu salat Zuhur berjamaah, salat Asar berjamaah dan pasien pun kemudian diajak mengikuti kajian tentang manusia, seperti mengapa Allah menciptakan manusia, mengapa ada orang yang susah ada yang senang, ada yang kaya ada yang miskin dan sebagainya. Lalu bagaimana menyikapinya yang intinya mengajak pasien untuk mengembalikan semuanya pada Allah.
Barulah pada malam hari, terapi dilanjutkan dengan mengajak pasien salat Tahajud, minimal 2 rakaat yang dilanjutkan dengan witir dan muhasabah (renungan). Proses penyembuhan ini dilakukan secara terus-menerus di Rumah Sehat dan sebisa mungkin dilanjutkan ketika pasien sudah pulang ke rumah.
Metode penyembuhan yang dilakukan di Rumah Sehat ini sudah dibuktikan oleh ratusan orang yang pernah berobat ke sana. Tak hanya dari orang di sekitar Kediri, namun dari segala penjuru termasuk dari luar Jawa. Pasiennya pun beragam, dan tidak sedikit yang justru berlatar belakang praktisi dunia kedokteran. Ini agaknya disebabkan sudah semakin banyaknya orang yang memperoleh bukti bahwa tahajud tak hanya sebagai proses penyembahan, tapi juga sebagai proses penyembuhan.
Sulistyo M Agustini, Depresi, dan Tahajud
Ada kisah lagi dari Kota Malang, yaitu dr Sulistyo M Agustini SpPK, pembina Korps Sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penyakit depresi sangat akrab dengan kehidupan beliau. Ia gampang cemas dan panik. Ia pun kerap merasa tertekan batinnya.
Gangguan ini dialaminya sejak kecil. Tepatnya, sejak ditinggal sang ibu, almarhumah S Hermiani. Saat itu, usianya baru menginjak 12 tahun. “Sejak ibu meninggal, saya sakit-sakitan, sampai berkeluarga saya juga sering sakit-sakitan, tapi saya tidak mengerti itu dampak dari depresi yang lama karena saya tidak pernah merasakan itu menjadi suatu gejala atau gangguan psikologis,” ceritanya.
Ia melewati semuanya sendirian. Jatuh bangun sendirian, begitu dia mengistilahkan. “Setiap saya mengalamai sakit tak ada bimbingan sehingga persoalan-persoalan hidup tidak bisa teratasi sendiri,’’ ujar Agustini.
Di Negeri Haromain
Kebesaran Allah Swt. kembali terbukti saat ia melaksanakan ibadah haji tahun 2002. Sejak berangkat dari Tanah Air, mantan kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Kabupaten Malang ini, merasa saat puncak pelaksanaan ibadah haji, kemungkinan besar dirinya sedang datang bulan. Apalagi dia adalah tipe wanita yang sikus haidnya selalu tepat.
Namun di luar dugaannya, sampai selesai wukuf di Padang Arafah, ia belum datang bulan. Padahal, ia tidak mengonsumsi obat-obatan apa pun. “Alhamdulillah saya diberikan kemudahan, saya di sana tidak hidup dengan siklus yang sebenarnya. Bagi saya itu menjadi suatu keanehan yang luar biasa,” ujarnya.
Kejadian di Masjid Nabawi juga menambah keimanannya. Saat itu, dia jatuh sakit sehingga berpikir tidak akan bisa melakukan salat Arbain. “Saya sudah pasrah karena badan saya demam, panas tinggi seperti terbakar. Bahkan saya merasa tidak bakal hidup lebih lama lagi,” ujarnya.
Ia duduk di pinggiran masjid, sampai kemudian datang seorang wanita tua yang membawa air zamzam di tangannya. Wanita itu mendoakannya dengan doa waktu Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud dan membasuhnya dengan air itu. Ia juga diminta untuk melakukan salat Tobat. Ia pun bergerak untuk melakukan salat. Di rakaat kedua, ia merasa badannya ringan. Usai salat, ia merasa panas tubuhnya menurun. “Saya bahkan sempat membaca Al-Quran meskipun tajwid saya waktu itu tidak bagus,” ujarnya. “Subhanallah!” kata itu yang selalu keluar dari bibirnya jika mengingat kebesaran Allah yang dilimpahkan baginya.
Demikian, rasanya sudah bukan saatnya bagi kita untuk meragukan kekuatan tahajud yang penuh hikmah dan manfaat ini.
Dipertemukan dengan Moh. Saleh
Beruntung, kemudian ia kenal dengan Moh.Saleh, ahli terapi salat Tahajud, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dengannya, ia (Agustini) mengaku banyak belajar bagaimana salat khusyuk dan salat Tahajud. Ia pun mempraktikkannya secara rutin. Makin hari, ia terasa makin terikat batinnya dengan Sang Khalik. “Batin menjadi tenteram dan tidak merasa sendiri lagi,” ujarnya tentang manfaat tahajud.
Di tengah malam ia selalu bermohon kepada Allah. Ya Allah hari ini saya banyak persoalan, saya hanya manusia lemah, saya mohon kekuatan-Mu. “Ternyata itu yang membuat saya makin tenang menjalani berbagai persoalan. Saya bisa lebih sabar, emosi saya bisa dikendalikan,’’ ujarnya kepada sumber berita.
Menurut Moh. Saleh, sudah beberapa tahun ini ia men-dawam-kan salat Tahajud. Ia juga tak segan untuk meresepkan tahajud kepada pasien-pasiennya. “Jadi apa pun sakitnya sebaiknya dibantu dengan salat Tahajud, dengan memohon kesembuhan pada Allah. Meminum obat itu hanya satu sarana untuk menyembuhkan.
Ia mengaku kini makin hari hidupnya makin tenang. “Alhamdulillah, dengan salat Tahajud rasanya hidup ini tidak ada sulitnya. Pasti ada solusinya yang langsung diberi oleh Allah Swt.” ungkap ibu tiga anak ini.
Muhammad Amiruddin dan Kelumpuhan
Kisah lainnya yang merasakan kekuatan terapi kesehatan salat Tahajud adalah Muhammad Amiruddin. Kisah singkatnya dapat membuat kita makin yakin dengan kedahsyatan terapi salat Tahajud.
Muhammad Amiruddin (47) telah lama merasakan kemuliaan salat Tahajud. Lelaki kelahiran Bangkalan Madura ini mengaku besarnya faedah dari ibadah salat Tahajud. “Terus terang, selama ini saya sudah tidak bisa jalan. Kaki rasanya sakit sekali untuk digerakkan. Alhamdulillah, setelah diperkenalkan dengan terapi salat Tahajud dan saya melaksanakannya dengan rutin, saya mendapatkan manfaat yang sangat besar. Kaki saya sekarang sudah bisa digerakkan,” papar Amiruddin penuh ceria.
Pria yang sehari-hari di Bangkalan Madura bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini lebih lanjut mengungkapkan, akibat penyakit yang dideritanya, ia harus menjalani terapi medis berkali-kali. Akibatnya, bukan hanya berat badannya yang mengalami penurunan sampai 11 kg, bahkan akhirnya kakinya pun tidak bisa digerakkan, berujung pada dia tidak bisa berjalan.
Ayah tiga anak ini beruntung kemudian ada yang mengenalkan dengan Prof Mohammad Saleh yang membuka terapi salat Tahajud di Masjid Agung di Surabaya. “Alhamdulillah, setelah secara rutin saya melaksanakan salat Tahajud, kondisi tubuhnya mulai sehat. Sekarang saya sudah bisa jalan seperti dulu lagi,” ungkap Amiruddin.
Para Tokoh dan Niat Tulus
Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Prof. Ali Musthafa Yakub, ibadah tahajud merupakan salah satu salat yang utama setelah salat fardu. Sayang, kata pakar hadis ini, banyak di antara umat Islam yang kurang memahami pentingnya ibadah salat Tahajud sebagai terapi saja. “Yang penting tujuannya pendekatan kepada Allah. Kalau sudah dekat kepada Allah nanti apa yang dia inginkan akan dikabulkan,” tegasnya.
Demikian juga selalu disebutkan Pimpinan Majelis Az-Zikra, Ustadz Muhammad Arifin Ilham, bila menjelaskan tentang tahajud. Arifin menegaskan, tahajud merupakan ibadah yang tidak pernah ditinggalkan oleh nabi, sahabat, Waliyullah dan para ulama salafussaleh. “Rasulullah Saw. telah menyebutkan di dalam hadis shahih bahwa seorang hamba yang bangun tengah malam, ingat Allah, kemudian mengambil wudu, dan melakukan salat, maka dia akan semakin energik dan jiwanya tenang,” tandas Arifin Ilham.
Sebagai dai muda, Ustaz Yusuf Mansur pun selalu menganjurkan jamaah yang mendengarkan taushiahnya untuk selalu membiasakan diri salat Tahajud dan dipadukan dengan sedekah. “Pada tengah malam itu, Allah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para hamba-Nya untuk meminta apa pun, dan Allah berjanji untuk mengabulkannya. Alangkah sayangnya kalau kesempatan emas itu kita sia-siakan,” ujarnya.
Untuk lebih afdal, ia menganjurkan untuk memadukan salat Tahajud itu dengan sedekah. “Salat Tahajud adalah setengah penyelesaian terhadap persoalan kehidupan yang dihadapi, dan sedekah itu akan menyempurnakannya,” paparnya.
“(Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah : ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.”
Demikian firman Allah Swt. dalam surat Az-Zumar [39] : 9.
Efek Bahagia Salat Tahajud
Kenapa karena salat Tahajud? Karena tengah malam keadaan sunyi, sepi, jadi bisa konsentrasi salatnya. “Salat Tahajud penting untuk meningkatkan konsentrasi,” ujarnya.
Namun demikian, dia mengingatkan selain melaksanakan tahajud kita juga harus ikhtiar. “Jangan ada musibah kita diam saja tidak bertindak apa-apa. Jadi, harus ikhtiar, disertai salat Tahajud dan memohon doa. Jadi, bersamaan,” ujarnya seraya menambahkan di dalam penelitian lain disebutkan terapi medis saja tanpa disertai doa dan zikir maka tidak lengkap. Sebaiknya doa dan zikir saja tanpa terapi medis tidak efektif. “Jadi, dua-duanya bersama-sama harus di kombinasikan. Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan juga obatnya.”
Salamah Muhammad Abu al-Kamal membeberkan beberapa bukti ilmiah tentang salat malam atau salat Tahajud. “Sebagian besar waktu untuk tidur pulas ada pada paruh pertama malam sehingga kebutuhan rehat bagi tubuh sudah tercukupi. Bangun pada paruh kedua malam atau sebelum fajar tidak mengganggu waktu istirahat tubuh yang maksimal,” ujarnya.
Bantu Berikan DONASI jika artikel ini dirasa bermanfaat
Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain www.raimondwell.com
Terima Kasih telah meninggalkan komentarnya